Pages

Saturday, May 21, 2011

Unlimited Cyber Chapter 13

13; Belive



; Markas Angkatan Pusat, 08.30 AM[pergantian sudut pandang]

“Sebenarnya sih, hari ini kita tak ada kegiatan berarti selain memantau prajurit patroli dan murid Akademi Militer latihan fisik…” Bruno memandang kalender yang tergantung di sisi kiri jendela. ”Tapi toh, ternyata tugas kita sudah diambil alih Squard 10...”



”Bagus, dong!” Saga mencibir. ”Sekarang biar kita yang santai!”



“Dan lagipula, memantau orang yang seumuran dari kita rasanya aneh…” Felix menambahkan arumentasi Saga sambil berdigik. “Kau tau, seperti ada system kasta dalam Akademi Militer, aku tak suka itu”



Yang lain mengangguk setuju. Aku diam saja mendengarnya.


”Okeh...” Felix akhirnya bangkit dari kursinya dan melakukan streching untuk meredakan pegal-pegalnya. ”Rasanya aku mau tidur sepanjang hari... tapi dari kemarin kita melakukan penyelidikan Scar Path Cyber... jatah liburanku diambil...” Ia menarik pintu ruang kerja untuk menghirup udara segar.



”HWAAAA......!!! TUYUL!!!”



Felix tiba-tiba berteriak nyaring sekali merobek atmosfir pagi di ruang kerja. Ia mundur beberapa langkah, menabrak meja Bruno yang penuh tugas laporan dan dokumentasi Inspeksi. Kertas berhamburan ke mana-mana, membuat ruang kerja kami berantakan.


Ketiga sosok yang berada di muka pintu sekarang terkikik geli. Aku memicingkan mataku, melihat pelan-pelan sosok mungil yang ada di depanku.



”Kak Keydaaaaa......” teriak suara perempuan yang aku pernah kenal. Suara anak yang pernah mencariku.



”Siapa nih? Ada apa ini?” tanya Saga heran melihat sosok anak kecil yang ada di depan kami. ”Kok bisa ada anak kecil di sini?”



”Dia yang kemarin memberi kita Es Krim...” ucapku.

Keempat partnerku diam sebentar untuk beberapa detik, memandang ketiga anak mungil di depan kami, lalu dengan kompak mendesah ”Oooohh....”

”Lalu, kalian kok bisa sampai ke sini?” tanya Rei heran, mengambilkan sofa kecil yang pas diduduki ketiga anak mungil itu.

”Umm...” salah satu dari mereka menjawab. ”Kami sih, tadinya ingin mencari Kak Karen dan kawan-kawannya. Tapi kami tak menemukan mereka... Kami menyelinap dari gerbang, tubuh kami kecil...” dia berucap. ”Lalu saat kami ingin pergi dari sini, ternyata kami melihat Kak Keyda masuk ke ruangan ini beberapa menit yang lalu... mau kami ketuk pintunya, tapi kami rada grogi...”

Teman-temanku saling berpandangan.

”Hoo... begitu rupanya toh... dasar banyak akal!” Felix maju dan mengacak-acak rambut dia gemas. “Kalian itu adek-adeknya cewek-cewek itu ya? Ohya, jangan-jangan kalian sering disiksa? Wah, kacau!”

“Hus! Ngaco!” bantah Bruno. “Mereka kan perempuan, masa’ suka menyiksa anak kecil begini, sih?”

”Lalu, Kak Karen mana?” tanya gadis kecil, bersemangat.

”Sayangnya, mereka sedang melakukan tugas, jadi tak ada di markas ini...” Rei menghela nafas. ”Kalian manis-manis sekali! Siapa nama kalian?”

”Oh! Aku Cynthia. Yang lagi bawa tas besar ini Basil, dan yang di kiri aku ini Steve!” Cynthia memperkenalkan diri dan kedua temannya yang lain. ”Salam kenal! Kakak?”

”Oh, namaku Rei. Yang ini, Felix...” Rei menunjuk Felix yang sedang berjongkok di depan mereka. “…lalu yang sedang membereskan kertas itu Bruno… yang sedang duduk di pinggir itu Saga…” Bruno melambail kepada mereka saat disebut namanya, dan Saga hanya mengangkat tangan. “…dan terakhir itu, Keyda…” ucapnya mengakhiri perkenalan.

“Tas itu besar sekali!” seru Felix. ”Itu isinya apa?”

“Ohya! Sampai lupa!” Basil menepuk kepalanya. ”Aku bawa Ayam Madu dan Bruchetta sekotak! Tadinya aku mau kasih ke Kak Karen dan kawan-kawannya... tapi sayangnya mereka tidak ada...” ucapnya menyesal. ”Mereka kurus-kurus sih! Aku jadi kasian... apa mereka hanya makan sehari sekali?”

Keempat temanku tertawa berderai.

”Sehari sekali? Bahkan mereka lebih banyak makan daripada kita!” Felix terkikik geli. ”Sudah! Lebih baik Ayam Madu itu kau berikan pada kami!”

”Ini buku apa?” tiba-tiba suara Cynthia memecah tertawa kami. ”Apa ini buku kode-kode tentara? Keren sekali ya!”

Aku mendongak ke arah Cynthia. Ia sedang menggenggam buku symbol Scar Path Cyber usang itu, yang tergeletak di atas meja Bruno. Basil dan Steve ikut bergabung melihat buku tersebut. Mereka membalik-balik halamannya penuh kekaguman.

“Itu…tugas kami!” Ucap Felix, yang sekarang meletakkan kotak besar penuh berisi ayam madu dan potongan Bruchetta tersebut. “Mengapa?”

“Tidak apa-apa, habis bukunya…”

”Squard 12!” tiba-tiba pintu terbuka. Terlihat Jendral Vermouth bersama Mayjend Plug membuka pintu ruang kerja kami. Kami tersentak kaget, bahkan Cythia loncat dari tempatnya berdiri.

“Kalian dipanggil oleh Brigjen Slyder… eh? Ada apa ini?” Jendral kaget melihat tiga anak kecil yang berdiri di ruang kerja kami.

”Ini...” Kami berusaha mencari alasan mengapa ada makhluk mungil di ruang kerja kami. ”Oh! Ini adalah penduduk yang kami pernah tolong saat inspeksi di Barat...” Bruno mencoba merangkai kata. ”...dan mereka datang berkunjung...”

”Dan, itu apa?” tanya jendral Vermouth, memandang buku yang dipegang Cynthia.

“Eh? Ini buku…Aw!” belum sempat Cynthia melanjutkan keterangannya, kakinya sudah diinjak Felix. Cynthia memandang wajah Felix, sebelum ia mengerti apa yang harus dia lakukan.

“Err…ini buku sekolahku!” ucapnya sambil memasukkan buku itu ke tas Basil. “Benar!”

“Oh, kalau begitu waktu kunjungan habis! Kakak-kakak ini punya tugas lagi, bisakah kalian pergi?” tanya Mayjend Plug. ”Kalian harus melaporkan tugas kalian, betul?”

Dengan gontai, Cynthia, Basil dan Steve diantar oleh Jendral Vermouth. Kami menghembuskan nafas lega, buku itu selamat.

“Nanti kami akan ambil lagi!” bisik Felix kepada mereka bertiga. Cynthia mengacungkan jempol sambil meringis kesakitan.

***

; Markas Angkatan Pusat, 09.00 AM
[pergantian sudut pandang]

“Ah, benar-benar tak ada dokumen yang bisa diandalkan…” Letnan Muda Vermoth mendesah berat. “Kau, Russel?”

“Persis. Nihil nih!” Perwira Sandler juga putus asa. Ia merebahkan tubuhnya ke tumpukan dokumen yang berserakan di lantai, menatap langit-langit. “Anne?”

”Sama...” Perwira Lambert tertunduk pada meja. Rambutnya yang panjang ikal tergerai di meja acak-acakan. ”Capek...”

“Apakah tak ada lagi yang bisa kita lakukan? Semua dokumen tak ada yang bisa diandalkan, nih!” Letnan Muda Vermouth menghela nafas lagi, kali ini lebih berat. ”Aku bingung, dari manakah lagi kita dapat sumber ya?”

”Seakan semua dokumen yang berhubungan dengan Scar Path Cyber musnah begitu saja seperti disengaja…” sambung Letnan Muda Matilda. ”Menurutmu, penghancuran barang bukti?”
Ketiga temannya yang lain terdiam.

”Kalau memang penghancuran barang bukti, sudah pasti ada orang yang membakar habis semua dokumen itu, kan?” ucap Perwira Lambert. ”Namun kau sudah tau, semua dokumen itu dijaga ketat oleh Rafael, tidak ada satu orangpun yang tidak berkepentingan diizinkan masuk olehnya...”

”Tapi di sini tidak ada sama sekali!” Perwira Lambert berseru heran. ”Di ruang dokumen satu, dua, tiga, empat dan lima juga begitu! Nihil!”

Mereka terdiam. Berbagai rencana dan hipotesis berkelebat dalam diri mereka.

“Mungkin, dokumen sudah musnah, tapi…” tiba-tiba Letnan Muda Vermouth berbicara. “…apakah pengarangnya ikut musnah juga?”

Seperti mendapat ilham, mereka bangkit kembali dari keputusasaan mereka.

”Benar juga! Sekarang kita tinggal perlu mencari pembuat laporannya, kan?” Perwira Sandler bangkit. ”Kau ini ada bolehnya juga, Romy!”

”Hmm... kita sekarang tinggal perlu menyelidiki masalah yang satu ini...” Perwira Lambert berdiri merapikan dokumen-dokumen yang berceceran di lantai. ”akan repot juga merangkak tanpa ketauan...”

***

; Markas Angkatan Pusat, 12.00 AM
[pergantian sudut pandang]

”Makan siaaang...” teriak Amy. ”Ayo ke kantin, aku lapaaar...”

Aku hanya menghela nafas dan membereskan kembali kertas-kertas dokumen yang baru saja diketik Sara. ”Iya, aku juga lapar!”

”Anak-anak angkatan baru cukup menyenangkan, ya!” komentar Megan. “Mereka sangat bersemangat saat melakukan latihan fisik pertamanya…”

“Mereka kan dipimpin Letkol Vatera! Lain masalahnya kalau latihan pertama mereka dipimpin Brigjen Slyder! Pasti mereka kabur dan menangis di rumah! Hahaha....” Amber tertawa berderai. Ada nada kebanggaan pada ucapannya tadi. Aku dan yang lainnya ikut tertawa. Ya, berlatih bersama Brigjen Slyder adalah bunuh diri secara pelan-pelan. Aku membuka pintu, masih tertawa bersama teman-teman.

”Apalagi saat kita baru mendapat latihan Reserve Cyber pertama...”

Aku kaget. Aku menghentikan pembicaraanku.

Keyda sudah ada di depan pintu, memandangku datar dan tajam seperti biasa.

”Errr...” aku mencoba merangkai kata-kata keherananku. ”Ngapain?”

”Menunggumu” ucapnya tanpa ekspresi. ”Tadi Basil menelepon ke saluran militer”

Aku masih belm menguasai kata-kata itu. Aku menampakan ekspresi tidak mengrti.

”Tadi Basil dan kedua kawan kecilnya meneleponku...” ia mengulang kata-katanya.

”.....!!!!”

***

”Ngapain dia nelpon-nelpon ke saluran militer?” tanyaku heran sambil berlari menyeimbangkan langkah Keyda. ”Kok bisa?”

”Ceritanya panjang...” ucapnya, berjalan cepat di trotoar kota Archiel. “Yang pasti salah satu buku symbol Scar Path Cyber ada di mereka.”

“Eeeh?” aku terkaget-kaget. “Kok? Kok?”

”Dan mereka berhasil memecahkan kode itu...” sambungnya.

”Lha? Lha?”

”Dan sekarang akan berbahaya jika memakai saluran telpon Militer. Jadi aku menelponnya dengan saluran umum”

”Tunggu! Aku masih belum mengerti, nih!” ucapku protes. ”Jelaskan lebih detail dong! Hey, Key!”

Ia tak mengubris ocehanku dan dengan cepat memasuki saluran telpon umum. Ia memutar nomor, dan memberikan gagang teleponnya kepadaku. Aku menerimanya, masih terheran-heran dan Keyda keluar dari bot telepon dan menungguku di luar.

“Ya? Samantha Adams di sini?” ucap suara yang ada di sebrang sana. Suara wanita yang lembut, tenang dan terdengar merdu. Aku sekarang bingung untuk menjawab apa.

“Euh… apakah di sini rumah Basil? Bisa bicara sebentar?” ucapku grogi.

”Ohh... Ini dari siapa ya?” tanyanya. Lagi-lagi aku bingung harus menjawab apa.

“Emm… Karen. Temannya.” Jawabku begitu tolol. Sudah jelas-jelas Basil adalah adikku. Kenapa sekarang aku menjawab teman?

“Temannya Basil ya? Baiklah, tunggu sebentar ya!” ucap suara tadi, sekarang meletakkan gagang telepon rumahnya. Aku hanya menunggu seperti orang idiot. Aku belum mengerti apa yang terjadi di sini.

”Kak Karen? Waaa... aku sudah menunggu dari tadi juga!” Basil mengucapkan nada protes.

”Agen di sini kan masih bertugas!”

”BASIL! Ngapain kamu menelepon di saluran militer, hah?” ucapku dengan nada marah. ”Bahaya, tau! Jangan asal menelepo begitu, dong!”

”Habis, aku tak tau bagaimana cara menelepon kakak...” ucapnya, nadanya sedikit memelas. ”Sudah, aku berhasil tau apa arti buku ini, nih!”

Aku kaget.

”Buku apa?” tanyaku meyakinkan diriku sendiri.

”Ya buku Simbol ini, lah...” jawabnya heran. ”Aku bertanya kepada neneknya Cynthia. Dia ahli membaca simbol huruf kuno!”

Apa?

”Bohong, nih? Sudah, aku tak ada waktu mengubris ocehan anehmu itu. Jangan mempermainkanku, ya!” aku masih belm mempercayai kata-kata Basil tadi. Beraninya mereka mengusiliku. ”Konyol sekali!”

”Saat itu matahari menyembul dari timur dan menampakkan kembali rona jingga menawannya. Aku terbangun dari mimpi panjang semalam dan mulai menjejakkan kakiku pada manison bangsawan Springbell. Pilar-pilarnya kokoh, terbuat dari pualam putih dan bersinar-sinar mengkilap, membuatku memejamkan mataku karena sinarnya. Saat aku berjalan menuju taman-taman...”

Basil mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan lancar. Aku tertegun, mendengarnya dengan setengah percaya dan tidak percaya. Ia menerjemahkannya dengan santai, dan aku dibuat kehilangan kata-kata karenanya.

”Baru satu halaman itu, kak!” ia mengakhiri penerjemahannya. ”Gimana, percaya?”

Aku masih belum menguasai diriku. Melamun, memandang kaca-kaca bot telepon dengan sangsi.

“Basil…” aku berbisik lirih. “…terjemahkan lagi sebanyak yang kau bisa. Kalian sungguh diluar perkiraan!!”

***

”Haaah?! Kok bisa-bisanya sih?” Amber berteriak kaget dan tidak percaya. “Ah, mereka bohong tuh! Kita saja setengah mati mencarinya!”

“Aku juga rada tidak percaya tadi…” ucapku ragu-ragu. “Tapi aku merasa ada sesuatu yang mereka kemukakan… sesuatu…”

Aku terdiam sebentar, mengambil nafas sebentar, dan melanjutkan dengan kata
“…percaya…”

Keempat temanku hanya memandangku sangsi.

”Percaya, ya?” ucap Megan sambil mengadahkan tubuhnya pada kursi. ”Memang, percaya adalah kata yang mudah diucapkan...”

”Namun susah untuk diterapkan, bukan?” Amy tertawa renyah. “Yah, tapi bagaimanapun, percaya adalah komponen yang penting, kan? Aku percaya dengan mereka! Yah, walau cuma sedikit…”

“Coba kita diamkan buku itu pada mereka, mungkin kita dapat menemukan kemajuan!” Sara menusuk Puree Kentangnya dengan garpu.

”Tapi...apakah mereka tidak terlibat terlalu jauh, ya?” tanyaku. ”Aku khawatir mereka akan terancam...”

”Sejauh ini tidak apa-apa kan?” sambung Sara. ”Lagipula keputusan ada di tanganmu, Leader skuard 10!”

Aku menghabiskan Puree bagianku dalam diam.

***
; Markas Angkatnan Pusat, 01.02 AM

”Ah! Kartu?” aku menerima kartu yang disodorkan Perwira Lambert.

”Ya!” ia meyakinkanku untuk menerimanya. ”Ada di kotak surat skuard 10 kok! Kenapa ragu?”
”Err...tidak apa-apa sih...” aku merasa janggal dengan kartu ini. Siapa yang mengirim kartu ini? Setauku tak ada yang pernah mengirimkan surat apapun kepada skuard kami selain tugas kontrak kerja atau surat pemanggilan.

”Sudah ini!” Perwira Lambert mengambil tanganku cepat. Lalu ia menyerahkan kartu itu padaku dengan paksa. ”Aku masih banyak urusan!”

”Ah, seorang Anne Lambert pasti banyak urusan!” aku tertawa berderai. “Kau tau Anne, sepertinya aku jadi kalah sibuk daripada dirimu!”

”Calon naik pangkat, sih...” ia tersenyum simpul. ”Ah sudah! Sudah malam, sebaiknya kita tidur!”

”Oh, aku tau urusanmu yang banyak itu : sikat gigi dan cuci muka, lalu berbaring dan tidur!” aku tertawa mengejek.

Ia dengan kesal menghajarku, lalu berpamitan sambil tersenyum manis. Rambut ikal panjangnya berurai-urai ringan.

Aku memandang kartu dalam diam, berjalan sendirian menyusuri koridor yang sudah sepi. Suara sepatu bootku memantul sepanjang koridor, membuat irama yang sepadan dengan desiran angin yang menggelitik telingaku. Aku melihat menembus jendela yang ada di sepanjang koridor. Suasana Kota Archiel saat malam selalu menawan; lampu pendar yang berhias-hias dan berbagai macam orang yang berlalu lalang sambil tertawa tawa dan bercanda.

TUK!

Suara sepatu Boot yang lain.

”Ah!” aku berseru melihatnya. ”Kau masih belum tidur, Key?”

“Belum” ucapnya singkat.

“Aku juga… habis membereskan ruang kerja…soalnya aku kerja paling akhir...” desahku. “Kau tidak tidur?”

Ia terdiam. Hanya memandang jauh menembus jendela; menembus lampu-lampu pendar kota Archiel.

Entah kenapa, saat memandangnya degan lekat, ada sesuatu yang aneh menguasai perasaanku. Sesuatu yang, aku tau ada yang kurang. Seperti fragmen ingatan.

”Ayo, lebih baik kita tidur!” aku beranjak dari lamunanku tentangnya. ”Sudah larut, nih!”

Ia hanya mengangkat kepalanya sedikit dan mendesah. Lalu ia ikut membalikkan badannya dan terdiam, seperti menungguku berjalan duluan.

Aku menyalibnya tanpa suara, dan berbalik badan kepadanya. ”Ayo! Kau tidak ingin istirahat?”
Ia, entah kenapa, seperti sangat berat untuk menggerakan kakinya, seperti menghindari kamarnya. Seperti menghindari tidur.

Aku memandangnya lagi, erat.

Pandanganku mulai kabur, entah kenapa.

Dan tiba-tiba, aku melihat sesuatu, sesuatu yang menyergap semua padanganku.

***

Ah? Dimana ini?

Aku melihat langit. Hujan, deras sekali. Aku memandang sekeliling.

”Karen...”

Di depanku, tergeletak, tak berdaya, lemah dan terkapar, seorang anak kecil yang diam. Benar-benar tak bergerak, seperti mati. Ia hanya berbisik-bisik lemah menggil namaku, kecil sekali suaranya.

Itu siapa?

”Karen.... Karen...” ia memanggil namaku berulang kali. Bergetar getar suaranya.
”Karen...Karen... Karen...” suaranya tak berhenti-henti menggaung.

Apa ini? Siapa? Siapa?

Dia sekarang mulai bergerak, menyeret tubuhnya yang disirami darah menuju ke arahku. Terseok-seok, ia terus memanggil namaku dan berusaha menggapaiku.

“Karen… Karen… Karen…”

“Keyda…”

Aku mendengar satu suara lagi, dan aku mengenal sekali akan warna suaranya.

”Key...”

Suara itu sekarang berdengung-dengung di kepalaku, sakit, sakit, sakit. Suaranya tak mau menghilang. Bergaung gema di kepalaku. Pergi...

”Karen... Karen... Karen...”

Hentikan... hentikan...

”Karen...”

Hentikan...

”Karen...”

PERGI!!

***

GUBRAK!

Aku terjatuh di lantai koridor. Kartu yang kugenggam terpental di lantai batu.
Aku mendongaka kepalaku. Kembali memandang lantai batu dingin yang terhampar di depanku. Kembali memandang menembus jendela, mempertotonkan suasana kota Archiel dari jauh. Dan, melihat Keyda yang tatapannya berubah tajam memandangku.

Apa itu tadi?
Sakit, sakit, sakit.

”Baik-baik saja?” ucapnya. Aku terdiam. Perlahan aku merasakannya lagi, lambangku sakit.
”Err...iya. hanya sedikit tidak enak badan...” kilahku. Perlahan aku berdiri dan memungut kartu yang diberikan Perwira Lambert.

Apa yang kulihat tadi? Ingatankah?

”Aku butuh istirahat!” ucapku cepat. ”Baiklah, selamat tidur, Key!”

Ia mengantarku sampai pintu asrama, lalu berbalik arak membelakangiku. Aku memandangnya dalam, lalu memutar grendel pintu yang ada di tanganku. Hening, Cuma terdengar suara kunci yang kuputar dan bergema di seluruh koridor.

”Itu tadi ingatan, kan?” tanyanya tiba-tiba.

DEG!

Aku terdiam, berhenti memutar pintu.

”Iya...” jawabku berbisik.

”Apa yag kau lihat?” tanyanya.

Ah! Apa yang kulihat?

”...tidak tau...” aku menjawab dengan jujur.

Ia terdiam. Aku ikut terdiam. Memikirkan kembali kata-katanya.

”...baiklah, selamat malam.” bisiknya, lalu melangkah menjauhiku dan pintu asramaku.

Apa yang kau lihat?

***

Hyeeee... Akhirnya Chapter 13 jugaaa...
Rasanya seneng bgt! Dari kemarin ga ada waktu untuk ngepost ini cerita... Internet di rumah saia lelet bgt...
Met membaca!

0 toughts:

Post a Comment