9; Sign
; Barat Daya St.Petro, 07.30 AM
“Lagi-lagi pulpenku hilang!” aku mendengus sebal. “Kenapa sih, seperti semua pulpen di dunia ini tak ridho jika kugunakan!”
“Kau kan memang ceroboh!” sindir Megan. “Nih, pakai pulpenku saja!”
Aku menyambar pulpen yang disodorkan Megan kepadaku. Ku mulai membuka buku catatanku, berharap bahwa kaburku dari tugas hari ini akan membuahkan hasil. Perlahan kudekati reruntuhan bekas pertempuran kemarin saat melawan wanita Scar Path Cyber. Amber sudah ada di sana, menyapu pandangannya.
“Kusut masai!” ujarnya. “Apa yag kita harapkan dari reruntuhan gosong begini?”
“Tak tau. “ Aku mencoba menyoret kertasku, mengetes pulpen yang dipinjamkan Megan. “Kau kan yang mengusulkan kemari!”
Amber mendesah. Lalu ia berjalan di sepanjang reruntuhan bekas pertempura kemarin.
Sangat sulit menemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk di sini. Yang ada hanyalah setumpuk logam gosong yang tidak jelas, dengan huruf-huruf dan symbol-simbol melingkar yang sudah tidak bisa dibaca lagi. Aku, Megan dan Amber berputar-putar dan memeriksa logam tadi satu per satu, berharap ada setitik petunjuk yang bisa dijadikan harapan. Beberapa orang melihatku dengan tatapan tidak mengerti. Ada pula yang ikut tertarik dan bertanya macam-macam (kebanyakan yang bertanya anak-anak). Aku hanya menjawab “Sedang melakukan penyelidikan!” dengan tampang sok-sok serius. Beberapa anak tampak terkagum-kagum.
“Kakak Karen Springbell dan kawan-kawannya!” teriak suara yang aku kenal. Aku menoleh ke arah sumber suara.
Basil!
”Apa yang kakak lakukan di sini?” tanyanya melongok ke arah tumpukan
Logam-logam tak jelas.
“Eh… melakukan penyelidikan!” ucapku tergagap sambil membersihkan bajuku dari abu dan debu. “Kau? Kabur lagi dari Ibu Rossy?”
“Ini kan hari Minggu! Mana mungkin aku sekolah!” ujarnya geli. “Aku baru saja berbelanja untuk ibuku! Hari ini ibuku akan membuat ayam madu! Hem… sedaaap…”
“Ya, ya, ya, senang-senang kamu makan Ayam!” Megan mengambil kuas untuk membersihkan salah satu logam. “Duh, tak ada apa-apa di sini! Cari lagi…”
“Bukannya barang berharga di sini sudah diambil oleh para penduduk?” Basil berkata heran. “Di sini tidak ada sesuatu yang bisa diharapkan. Kemarin saat kalian meninggalkan tempat ini, beberapa penduduk kumal datang mengambil barang berharga…”
“Apa?” aku memotong kata-katanya cepat. “Apa saja yang diambil?” ucapku penasaran.
“Ah, kalau aku memberitaukan ini, berarti aku membantu penyelidikan kalian?” tanyanya dengan mata berbinar.
“Tentu saja!” jawab Amber sambil tersenyum memandang Basil. “Kau tau, kau bisa menjadi mata-mata kami!”
“Benarkah? Asik….” Ia berjingkat-jingkat kegirangan. “Kemarin, banyak yang mereka ambil. Seperti logam-logam yang masih bagus, onderdil seperti generator, pembangkit listrik, turbin, Baling-baling, dan…” ia berpikir sebentar.
“Oh! Ada ibu-ibu yang memungut pedang juga! Lalu ada bapak-bapak yang mengambil senapan-senapan keren dan meriam! Walau aku tak tau gunanya untuk apa!”
Aku sedikit janggal dengan hal ini.
“Ada apa? Pedang dan senjata?” Megan menatap Basil heran.
“Yap! Sekedar info lagi, saat pangkalan itu jatuh, serta merta ia menghancurkan salah satu rumah makan yang sedang direnovasi! Tidak ada korban jiwa kok, hanya beberapa tukang bangunan terluka!” Basil memberi info dengan lancar.
“Hmm…” aku mulai berpikir. Berarti barang bukti jatuh kepada penduduk sipil ya?
“Makasih atas info itu ya!” Amber tersenyum manis. “Infomu benar-benar berguna, lho!”
Basil tersenyum bangga. Ia membusungkan dada dan berseri-seri, seakan informasinya dapat membongkar kesatuan Mafia yang paling top.
“Mau makan di rumahku?” ia mengajukan tawarannya. “Ibuku akan masak banyak hari ini!”
“Ah… tidak usah… Kami akan melakukan penyelidikan kembali!” ucap Megan sambil menepuk punggung Basil. “Terima kasih atas infonya, mata-mata Basil!”
Ia tersenyum berbinar, lalu pamit pulang dan hormat, dan segera beranjak. Ia melangkah tegap, bagaikan tiang bendera. Dari wajahnya terpancar kebanggaan, sekaligus lapar.
“Kalau gitu, agak susah juga menemukan barang-barang itu ya!” Megan mengeluh dan duduk di samping Trigun Bell. “Akan berat nih, kerjaan kita!”
Aku dan Amber mengangguk berbarengan. “…kira-kira Amy dan Sara berhasil tidak, ya?” bisik Amber.
***
[pergantian sudut pandang]
Kertas bertumpuk di seluruh ruangan itu. Buku-buku juga, bertebaran di mana-mana. Amy ada di tengah-tengah mereka, sibuk membuka satu demi satu dokumen yang ada. Sesekali membuka kamus, menerjemahkan kata-kata usang dan aneh-aneh.
“Di sini cuma ada mulanya… kenapa sih tak ada tentang Scar Path Cyber lebih banyak lagi?” ia menggerutu dan membanting dokumen-dokumen usang tadi. “Benar-benar, deh…”
“Sedang apa di sini?” tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruang arsip.
Tidak! Orang! Aku akan diadili jika ketauan ada di sini!
“Ah… ah… aku mengambil dokumen yang ku perlukan… dan…aku aku…” Amy tergagap mencari alas an yang tepat.
“Oh..” tiba-tiba ia telah duduk di samping Amy. “Biar ku bantu. Kau mencari dokumen apa?”
“Aaah… Letnan Steward…” Amy tergagap. “Eh, aku… mencari apa ya?” ia bingung utuk menjelaskannya. Kalau ia berkata ‘Mencari dokumen Scar Path Cyber!’, mungkin ia akan diseret ke Mahkamah Militer.
“Scar Path Cyber, kan?” ia memotong gagapan Amy. “Hmm… coba ku cek…”
Eh? Letnan tau?
“Err… Letnan kok…”
“Aku sudah tau, kok!” ia mengobrak-abrik kertas-kertas dan buku-buku itu. “Karena Sersan Mayor Springbell dan Brigjen Slyder itu berkomplotan…”
“Ahya! Benar juga!” Amy menepuk dahinya. “Baiklah, cari bersama-sama ya!”
Akhirnya mereka terlarut dalam tumpukan kertas-kertas dan buku. Mulai mencari dari index, lalu membuka halaman demi halaman, atau mengecek atu per satu kertasnya. Banyak sekali huruf-huruf kuno yang ada di dalam ruang arsip ini, sehingga membutuhkan kerja dobel untuk memeriksanya. Tidak terasa mereka telah berjam-jam memeriksa semua buku itu.
“Dan tak ada yang bisa dijadikan andalan!” Amy menghela nafas. “Kenapa sedikit sekali, sih?”
“Kemungkinan adanya dokumen Scar Path Cyber itu sedikit, karena saat mereka berperang melawan pihak kita, tak ada yang selamat dan dapat memberikan info kepada Militer untuk dijadikan bahan penelitian…”
“Kita kan selamat!” canda Amy. “Ah, jangan bicara perang lagi ah!”
“Tidak apa-apa membicarakannya. Tapi hanya untuk mengambil pelajaran darinya, dan bukan menyesalinya…”
“Walaupun bilang seperti itu…” Amy tiba-tiba tertunduk. “Jika dikatakan lagi, yang terbayang hanyalah teriakan orang-orang yang terbunuh…” Ia meringkuk. “Mungkin menjadi Karen enak ya… melupakan semua itu…”
“Tidak juga” Letnan membantah. “Saat ia mendapatkan kembali kenyataannya, bayangka perasaannya yang dua kali lebih sakit daripada ini…”
Hening. Amy membuka dokumen dengan canggung, sesekali memandang Letnan, yang serius mengobrak-abrik lemari. Mereka kembali memeriksa buku-buku itu tanpa suara, hingga bel tanda masuk telah berbunyi.
Letnan beranjak. “Nah, bagaimana kalau kita berpisah dahulu? Aku masih ada urusan!”
“Ahh…ya… baiklah! Selamat tinggal, Letnan!” ucap Amy sambil memberi hormat dengan canggung.
Saat Letnan menjauh, hanya satu yang Amy pikirkan.
“…memang Kak Joey itu keren ya…”
***
[pergantian sudut pandang]
“Aaakkh… tanda-tanda ini mengesalkaaan….” Felix menggerutu tiada henti. “Udah deh, kita tinggalkan saja lambang-lambang asing nan memuakkan ini!”
“Nanti dulu dong!” Bruno protes. “Dan diam! Kurasa aku mulai mengerti tanda-tanda ini!”
“Jujur Bruno, aku tak melihat apapun selain huruf-huruf melingkar dan naik turun dan bentuknya aneh. Apanya yang mulai mengerti tanda-tanda ini?” Saga mengerinyit. “Sudah, tutup saja buku dan kamus sialan itu, dan kita mulai mencari dokumen yang masuk akal saja!”
Namun Bruno tak mengubris ocehan teman-temannya dan masih sibuk menerjemahkan huruf-huruf kuno yang ada di dalam dokumen yang terletak dalam sekali di ruang Arsip ke-6. Butuh pengorbanan luar biasa untuk membujuk Rafael (yang memegang kunci semua Arsip) dan meyakinkan dia bahwa mereka hanya mengambil satu dokumen yang diminta oleh Brigjen Slyder. Akhirnya Rafael menyetujui dan membuka ruangan itu. Bahkan untuk menemukan dokumen asing itu dibutuhkan waktu berjam-jam, dan yang membuat kami yakin itu adalah dokumen yang berhubungan dengan Scar Path Cyber adalah karena di sampulnya tertulis (dan yang masih bisa mereka baca) ‘Musuh-musuh yang akan memusnahkanmu’. Bahkan kami tak tau apa arti kalimat itu.
“Nihil” Saga berkata ketus. “Sepertinya itu bukan dokumen, tapi sebuah buku cerita. Lihat saja judulnya yang tak masuk akal! Sudah deh Bruno, lebih baik kau membantu kami mencari dokumen yang lain saja!”
“Hahaha…Kau risih ya melihatnya…” Rei tertawa. “Kalau kau tak suka, lebih baik berkosentrasilah pada tugasmu!”
“Kalau kataku…” tiba-tiba Felix mengeluarkan suara. “Hanya kitalah dokumen itu. Maksudku, kita selamat dari perang Selatan kan? Berarti yang mempunyai informasi mengenai Scar Path Cyber lebih banyak dari yang lain adalah kita…”
Hening. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sejujurnya, aku tak banyak ingat dan tak mau mengingat itu lagi…” Bruno memandang buku dokumen yang ada di depannya merana. “Kau tau maksudku? Kita terlalu sakit untuk membuka itu lagi”
“Masih mending daripada menyerah kan!” Felix turun dari tangga yang ia gunakan untuk meraih rak tinggi. “Bagaimana kalau kita mencoba mengingat lagi apa yang terjadi? Tak usah macam-macam, yang penting tentang betuk Scar Path Cyber dulu.”
“Orangtuaku menyerahkan diri mereka pada Scar Path Cyber brengsek itu, namun aku masih terlalu kecil untuk mengingat apa yang mereka katakan” Saga berucap sangsi. “Mereka juga menyerahkan diri dengan terpaksa…”
“Dan yang kuingat hanya keluargaku yang dibantai saat…” Bruno tiba-tiba berhenti. Suaranya tercekat, mencoba mengeluarkan kenyataan. “…malam itu…”
Semua diam, mencoba mengusir kembali ingatan-ingatan pahit yang menjalar sampai ujung jempol kaki mereka. Aku tertunduk, menyenderkan diriku pada kardus berisi buku-buku. Bayangan ibuku berkelebat seperti hantu, mengangguku. Bayangan Ayah juga, tertawa-tawa diatas penderitaanku dan ibu. Dan saat aku mencoba meraih tangan ibu… dan saat aku mencoba meraih tangan Karen…
“Ide buruk ya?” Felix tersenyum memaksa. “Aku juga tak ingin mengingatnya lagi, namun aku tak bisa lari…”
“Siapa sih Scar Path Cyber? Siapa yang memulainya?” Saga menggeretakkan gigi-giginya. “Jika aku tau siapa dia, aku akan cincang-cincang dia sampai ke ulu hatinya….”
Aku tau siapa dia. Seseorang yang juga terluka dan liar, sepertiku. Dan jika ia ada di depanku sekarang, aku sudah memecahkan kepalanya.
***
[pergantian sudut pandang]
“Laporan terbaru?” Tanya Kolonel Hyde pada Letnan Steward.
“Tak ada yang bisa diharapkan. Sudah kuanalisa, tak ada yang lebih mengetahui Perang Selatan kecuali kita” jawab Letnan.
“Nihil ya?” Tanya Kolonel Hyde. Letnan mengangguk mantap
“Dan saat aku mengecek kembali pusat Forensik, mereka mengambil dokumen ini…” Letnan memberikan secarik karats kepada Kolonel. “Apa mereka mengincar kedua orang ini?”
“Data diri Karen dan Keyda?” Kolonel menatapnya tidak mengeti. “Hanya ini?”
“Ya.” Jawabnya. “Mereka tidak mengambil data anak selatan lainnya”
“Dengan ini, jelas mereka mengincar Karen dan Keyda… tapi untuk apa?” Tanya Kolonel. “Langkah mereka sudah terendus oleh kita, namun mereka belum melakukan tindakan apa-apa lagi, selain mengacaukan Barat kemarin…”
“Dan itu belum terbukti” tambah Letnan cepat. “Apa kita terlalu khawatiran? Atau terlalu jauh bertindak?”
Kolonel kembali berpikir. Ia menggeretakkan tangan pada meja, mulai berpikir-pikir lagi. Letnan juga ikut terdiam. Beberapa ide berkelebat di kepalanya.
Untuk apa mereka menginginkan Karen dan Keyda? Pikir Kolonel dalam hati.
“Joey…” akhirnya Kolonel mengeluarkan suara. “apakah ada jadwal sore ini? Aku harus mendiskusikan ini pada Brigjen dan Mayor…"
***
; Kota St.Sinai, 01.38 AM
[pergantian sudut pandang]
“Sudah kubilang kan, tidak ada apa-apa di sini!” Amber merebahkan diri pada Aurora Spam. “Lebih baik kita pergi ke butik saja yuk! Ini kan hari Minggu!”
“Iya juga ya, tugas hari ini hanya sampai jam 2 siang, dan kita telah bolos sampai tengah hari begini…” Megan memandang matahari terik. “Tak ada gunanya kembali.”
Aku mengangguk. Sudah setengah hari kita mengacak-acak tempat ini, dan hasilnya nihil. Aku duduk dan menghela nafas berat.
“Selanjutnya kita bebas, jadi mau ke mana?” tanyaku. “Aku yakin, Sara dan Amy telah mengerjakan setengah dari tugas kita hari ini, dan kita tinggal mengerjakan setengahnya Senin nanti.”
“Hmm…” Amber mengangguk-angguk mengerti. “Bailah, jika begitu ayo kita minum teh bersama dan makan siang! Aku lapar….”
“Aku juga! Lebih baik kita ke Maple Mousse Café, mereka punya Dessert yang enak!” Megan memberi usulan. “Biasanya aku dan Felix suka makan di sana! Es krimnya enak dan lembut! Err… maksudnya, suka ketemu gak sengaja…” Megan buru-buru menambahkan setelah aku dan Amber memandang dengan penuh curiga dan nakal.
“Oke, ayo kita makan di tempat kencannya Megan dan Felix!” Amber tertawa seperti nenek sihir dan menaiki Aurora Spam, sementara Megan memandang Amber dengan wajah seperti beruang marah.
***
Haah...akhirnya Chapter 9...
lagi mevet nih ngepostnya... di sekola... selamat menikmati dan komen aja dah...
Mwd :)
0 toughts:
Post a Comment