Pages

Sunday, August 22, 2010

Unlimited Cyber ; Chapter 6

6; Deep Hurt ; Maskas Angkatan Militer Pusat, 05.30 AM [pergantian Sudut Pandanng]

“Apa tanggapan anda?” Tanya Kolonel Hyde setelah menerima laporan dari Brigjen Slyder.

“Hmmh…” Brigjen Slyder berpikir sebentar. “Kalian-kalian bagaimana?” ia balik bertanya pada para bawahannya.


“Kalau kata saya, kita harus memghajar habis Scar Path Cyber sampai tidak bersisa!!! Bahkan sampai titik darah terakhir!!! Hyaaaaa……….” Teriak Letnan Muda Vermouth berapi-api.

“Gali kebenaran dan cari info lebih banyak lagi sebelum bertindak!” tegas Perwira Sandler. “Kita kan gak tau yang mana kawan atau lawan kan?”

“Membuat agenda pergerakannya! Siapa tau akan ada sesuatu yang mencurigakan lagi, kan?” tanggap Letnan Muda Matilda.

Brigjen hanya memandang para bawahannya dan menyesal telah menanyakan pendapat ngaco mereka.

“ Untuk sekarang tidak ada yang bisa kita lakukan selain menggali info lebih banyak lagi” ucap Kolonel sangsi. “Menurut saran saya kita kerahkan pasukan intelejen Negara atas nama saya”

“Jangan, terlalu beresiko” Brigjen menumpukan tangannya pada meja. “Kita tidak tau seberapa besar kekuatan mereka sekarang. Dan kupikir kita masih terlalu terburu-buru menanggapinya”

Hening. Semua sibuk dengan pikiran dan strategi masing-masing.
“Ah, bagaimana kalau sekarang kita kembali ke rutinitas masing-masing?” Brigjen beranjak dari kursinya menuju jendela. “Terima kasih atas diskusi ringannya! Dan Letnan Muda Vermouth, bisa panggilkan Sersan Mayor Springbell kemari?”

Letnan Muda Vermouth mengangguk. Semua memberi hormat kepada Brigjen dan keluar dari ruangan.

Tinggal Kolonel yang masih di sana. Kolonel memandang laporan dugaan pergerakan Scar Path Cyber merana. Brigjen memandang Kolonel lekat-lekat.

“Mereka tidak akan macam-macam lagi, selama kita dapat mencegahnya” Brigjen tersenyum sangsi. “Jangan berwajah muran begitu!”

“Tidak, saya hanya takut…” Kolonel membalas senyuman Brigjen. “Entah kenapa perang yang pernah berlangsung itu rasanya tidak mau pergi dari kepala saya…”

“Kujamin, tak akan ada apa-apa” Brigjen menyimpan dokumen itu pada loker mejanya. “Jangan memikirkan itu terlalu jauh, Kolonel”

“Baik, saya beranjak dulu.” ucapnya. Lalu ia memberi hormat kepada Brigjen dan menyingkir dengan sopan.
***
[pergantian sudut pandang]
Cerah. Hari ini benar-benar cerah dan dirusak oleh seseorang.
“Aku tak akan beranjak!!” aku mengerenyit kesal. “Aku tak AKAN beranjak!!”


“Perintah nona Springbell…” Brigjen tersenyum simpul (Yang sangat dibuat-buat.) “Lagipula hanya inspeksi kecil di wilayah Barat, apa salahnya?”

“Hari ini cerah, dan aku tak akan beranjak dari maskas hanya untuk inspeksi yang tidak berguna…”

“Letnan Muda Vermouth, bisa tunjukan jalan keluar?” Brigjen memutar kursinya menghadap jendela dan membelakangiku.

“Grrrhhh……” aku mendengus sebal. Tak segan-segan aku membanting pintu, sampai Letnan Muda Vermouth tersentak dibuatnya.

“Saat saat seperti inilah aku sangat-sangat membenci Brigjen…” aku menjejakkan kakiku ke tanah keras-keras, melampiaskan kekesalanku. “Rasanya ingin ku lempar dia ke luar jendela!”

“Hihihihi…” Letnan Muda Vermouth tertawa geli. “Seperti tidak bahagia jadi tentara saja…” ia berusaha mengambil nafas karena tertawa cekikikan. “Tak bisa bayangin Brigjen melayang dari jendela…..”

“Ya, dan andai aku bisa melakukannya!!!” aku nyengir sebentar, membayangkan Brigjen mengambang di udara seperti manusia burung. “Pasti lucu sekali ya…”

“Ah sudah! Kita berpisah dari sini!” Letnan Muda Vermouth berpisah dariku di persimpangan, memberi hormat padaku. “Semoga berhasil!”

Aku dengan cepat berbelok dan membuka pintu ruang kerjaku dengan cepat, mengabarkan perintah menyebalkan ini kepada teman-temanku.
***
[pergantian sudut pandang] “Tom!!” panggil Letkol Vatera riang. “Sedang baca apa kau?” tanyanya sambil menghampiri Brigjen Slyder dengan nampan makan siangnya.

“Ah, bukan apa-apa…” Brigjen memasukan laporan pergerakan Scar Path Cyber ke bawah meja kantin. “Hanya laporan inspeksi anak-anak Selatan” sambungnya berbohong.

“Ohohoho… kau yang mengontrol anak-anak itu ya…” Letkol mengiris telur dadar pada nampan makan siangnya. “Mereka itu kuat, ya!”

“Sudah sepatutnya” jawab Brigjen menusuk rotinya. “Mereka kan sudah bermental perang!!”
“Dan sepertinya tidak akan sembuh, ya…” Letkol menyeruput kopinya.

Brigjen tidak berkomentar. Ia memilih memandang diam pada makanannya. Membiarkan telinganya mendengar suara ramai para tentara yang berbincang ringan dengan rekannya, merelakan hidungnya mencium bau sosis panggang, kopi dan rokok.

“Ah… perang Selatan ya!” Letkol mendesah. “Mengerikan sekali!! Wilayah Selatan diblokir dengan kekuatan aneh sehingga tak ada yang bisa masuk atau keluar dari wilayah perang…” ia berdigik ngeri. “Dan akhirnya semua mati mengenaskan di dalam… bahkan tak ada yang selamat kecuali mereka….ah ah ya! Kau dan Luna juga!! Kalian orang Selatan!!” Letkol mengubah nada bicaranya saat melihat tatapan protes Brigjen.

“Luna, ya?” Brigjen memandang muram pada sosisnya. “Rasanya baru seperti kemarin aku melihat sebuah rumah hancur dan melempar semua penghuninya ke luar… ah, tak ada yang selamat…”
***
;Servidia, Selatan, 05.07 AM, 1903
[pergantian sudut pandang]
Aku memandang pemandangan depanku dengan nanar. Bahkan otakku sudah terbiasa memandang pemandangan ini. Hanya butuh lima hari hingga kehidupan yang ada di sini musnah tak bersisa, bahkan satu semutpun tak kulihat berjalan di tanah ini. Sudah terlalu beracun untuk membuat sarang mereka.

“Mayor…” suara yang sangat familiar memanggilku. “Ayo pulang…”

“Pulang ke mana, Luna?” ucapku lemas. “Ini rumahku”

Ia tertunduk. Menghampiriku dan memandang hamparan puing dan tanah gosong di depanku. “Tim evakuasi sudah datang…”

“Mereka ingin mengevakuasi siapa?” bisikku tanpa mengubah pandanganku. “Tak ada yang selamat di sini”

Ia menunduk. “Mayor Slyder, menurutmu ini apa? Masih padang rumput tempat kita berkejaran dulu?”

“Yah…” aku mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk melukiskan keadaan di depanku. “Entah. Yang masih berdengung di telingaku hanya suara senapan, sih…”


“Ironis…” bisiknya menyapu keadaan sekeliling. “Tadinya ini kan padang bunga…”

Aku gemetar. Aku memandang sayu semua yang ada di depanku. Jika semua ini ingin diulang lagi, mungkin aku sudah sakit jiwa. Tidak, sekarangpun aku juga sudah sakit jiwa.

“Lalu korban yang berhasil ditemukan?” lanjutku.

“Hanya sepuluh orang dari sekitar 12,000 penduduk wilayah selatan” ia tertunduk. “Semua anak-anak. Dan mereka dalam keadaan terguncang hebat.”

“Ah, tak ada yang selamat… tak ada yang selamat…” aku mengulang terus kata-kata keparat itu. “Kita beruntung, ya! Suatu keajaiban kita masih hidup sampai sekarang!”

Hening. Aku tak punya kekuatan lagi untuk bergerak menjauhi tempat ini. Sungguh, semua sisa kekuatanku terkubur di reruntuhan dan puing yang berserakan. Nafasku sesak, yang kuhirup hanya bau amis darah dan asap mesiu.

“Kolonel…” tiba-tiba Luna berbisik kepadaku. “Aku…ingin mati…”
Aku terdiam. Aku mengerti perasaannya.
“Aku..aku… melihat semua kawan kita terbunuh… semua tanpa bekas… hancur…”
Aku tak berani berkomentar. Kutelan saja rasa sakit ini bulat-bulat.

“Ada Naya, Pinka, Herdo, dan…dan lainnya…” ia merunduk lebih dalam. Suaranya serak dan putus-putus. “Mereka mati…mereka, mereka, mati… sementara…aku hidup... Kolonel…aku hidup…”


Kupandang wajahnya. Matanya sudah berkaca-kaca dengan sedih.
“Kenapa…aku masih hidup… kenapa… kenapa…” ia terus mengulang-ulang kata itu. “Aku telah membunuh banyak orang…banyak… ratusan orang… semua mati.. tapi kenapa aku yang berengsek ini… aku tak mau lagi… orang-orang pergi mendahuluiku…”

Ia jatuh. Kakinya sudah seperti jeli, tidak kuat menopang berat tubuhnya. Wajahnya pucat, seakan semua jenis penyakit telah menjakiti tubuhnya. Ia gemetar hebat. Menggigil. Satu persatu air mengalir dari matanya. Ia memandang kedua tangannya dengan tatapan laknat. Gemetar, ia mengambil senapan yang terselip di pinggangnya. Memandangnya, dan perlahan menyodorkannya kepadaku. Menatapku dengan linangan air mata.

“…Mayor, bunuh aku….”

Aku tak sanggup berkata-kata lagi, seakan semua suaraku telah ditelan tak bersisa. Matanya mengirim sinyal pedih kepadaku. Ia benar-benar menderita. Menderita dengan kenyataan bahwa ia lolos dari maut. Menderita bahwa ia tidak tertembak, terlempar karena ledakan, atau tertimbun puing-puing. Menderita bahwa semua orang yang ia sayang telah pergi mendahuluinya. Dan menderita dengan kenyataan bahwa ia masih hidup sampi detik ini.

Aku mendesah. Perlahan kugenggam tangannya. Kuambil senapannya dengan lembut. Aku memandangnya. Dengan gemetar, kueratkan genggamanku. Aku mengambil nafas, dan akhirnya berbisik,

“…aku tak mau kau pergi mendahuluiku…”

Membisu, ia menatapku. Memandangku, dan mulai terisak dan terguncang. Lalu ia menghujam tanah. Berteriak nyaring dan terisak-isak di tanah, melaknat takdir, menyesalkan dirinya yang terlepas dari maut, dan mengatakan berkali-kali bahwa ia ingin mati.

Aku memandang senapan di depanku. Dan jujur, ingin kutarik pelatuknya di kepalaku.
***
[pergantian sudut pandang] “Hai Tom! Kok bengong!” panggil Letkol Vatera. “Bengong itu tak baik loh…”

“Ah, tak apa-apa!!!” Brigjen mencoba mengendalikan suasana. “Hanya teringat sesuatu…”
“Tentang perang, ya?” Letkol bertanya.
Brigjen tidak menjawab. Tidak mau menjawab.

“Jangan menatap masa lalu terlalu jauh, nak… kau bisa tersandung di dalamnya…” Letkol menyeruput kopinya. “Waaakh!!! Tinggal 5 menit menuju rapat sosial!! Wah, mana belum beres-bers pula!! Kubawa saja deh kopiya!!” Letkol buru-buru melahap Roti dan Brokoli terakhir pada nampannya. “Herima hasih a’has magan shiangga!! Sheama Ingga…” Letkol memberikan salam pada Brigjen dengan mulut penuh makanan, dan buru-buru meninggalkan kantin.

Brigjen memandang tangannya. Mendesah.

“Jika di tanganku ada senapan lagi, akan ku tembakkan atau tidak ya?”
***
“41232… masuk…”
“41233…diterima… Zen Bernand di sini…” jawab suara yang ada di dalam Hazel Daze.

“Sersan Mayor Karen Springbell dari angkatan pusat, izin memasuki wilayah Barat untuk melakukan inspeksi…”

“Diterima…silahkan bertugas…” ucap suara itu.
Aku mendesah pelan sambil mematikan Mega-Phoneku. Lalu aku mulai mengeluarkan buku catatan andalanku untuk mencatat hal-hal yang perlu diketahiu untuk membuat laporan inspeksiku.

“Masuk…Megan Haddoc di sini…” ucap suara di Talkie-Phoneku.
“Diterima! Ya, kenapa Megan?” aku menekan tombol penerima suara.

“Ada perkembangan terbaru!! Ada penyerangan di bagian barat St.Sunai!!” ucapnya. “Pas banget dah!”

“Kita ke sana!!” ucapku sambil mengubah haluan Reserve Cyberku. “Palingan Cuma orang iseng!!”

Aku memacu Reserve Cyberku di udara dengan kecepatan tinggi. “St.Sinai… nah!” aku memandang sekeliling. Dan kulihat apa yang kucari. Kepulan asap.

“Ada yang menyerang! Betul apa yang dikatakan Megan!” aku melihat gedung yang dijadikan sasaran. Atapnya bolong.

“Ini bukan dari senjata biasa…” aku mendelik sebentar.
“Bagaimana?” Tanya Megan yang sudah ada di belakangku, menunggangi Trigun Bell.

“Ini…bukan serangan biasa…” aku memperhatikan bekas hantamannya. “Ini mirip Reserve Cyber…”

“Ohe?” Amber melongo. “Masa’ sih? Unname lagi?”
“Bukan ah!!” Sara menimpali. “Lihat, jejaknya berbeda!”
“Itu…” Megan berusaha mencari kata yang tepat. Aku terdiam sebentar, memandang jejak dari Retransform Reserve Cyber itu.

“…itu jejak tikus…” bisik Amy. “Dan kemarin gak ada satupun dari kita bertarung dengan tikus…”

“Spesies baru?” Megan mengambil kesimpulan.
Kami semua terdiam.

“Oke, ini mulai konyol,” aku berpikir sebetar. “Masalahnya ini bukan Cuma satu, tapi BANYAK jejak..”

“Tanya dulu sama penduduk?” Amy megeluarkan usul. “Siapa tau…”
DHUARR……
Serangan. Lagi.

“Baik, kayaknya ini mulai serius…” Aku menggenggam kendali Hazel Daze lebih erat. Kustel Talkie Phoneku. “Amber dan Amy, mulai evakuasi penduduk sipil di sekitar sini. Megan dan Sara, cepat lakukan ReTransform. Kita hajar Reserve Cyber itu!”

“Kenapa mereka muncul di saat kita ada di sini sih?” Megan mendengus sebal. “Dasar sial kitanya, ya!!”

Aku dan kedua temanku mengendalikan Reserve Cyber degan kecepatan tinggi menuju sumber suara. Ada suara ledakan keras, berkali-kali seperti tong kosong yang jatuh beruntun di dapur Militer karena tersenggol asisten Bu Aida yang tidak sabaran. Dari jauh terlihat Reserve Cyber yang merusak semuanya. Kecil, namun berlarian dengan tidak terkendali. Aku dan kedua temanku langsung mengetaui apa itu. Tikus.

“Benar kan, TIKUS!!” Sara berteriak dengan nada kemenangan. “Kubilang juga apa!!”
“Jangan-jangan Unname yang baru, ya?” tebak Megan. “Mau apa sih dia? Sara, sudah menghubungi tentara pasukan Barat?”

“Sudah” ia mengetik di papan Reserve Cybernya dengan cepat. “Dua jam dari sekarang.”
“Hmmm…” aku berpikir lama sambil meneliti Reserve Cyber di depanku. “Aneh, ia tak menyadari kedatangan kita!”
“Iya juga! Coba kupancing” Sara maju kedepan. “Hei tikus!! TIKUUUS….” Panggil Sara dengan speaker luar. “Ih kacau!!! KAU TAU KITA DI SINI….”

Tikus logam itu hanya memandang kami sesaat, lalu kembali melanjutkan inflasinya.
“Dia seperti tikus asli!!” Sara bergumam. “Seperti tidak ada orangnya!!”
“Kalau begitu..” Megan tiba-tiba menyela Sara dan maju.

DHUARRR….
Satu serangan dari Megan, tepat mengenai tangannya. Logam berserakan ke tanah dengan asap.

“Bagaimana, tikus sialan?” teriak Megan. “Jangan meremehkan si lengan revolver ya!!” ia tersenyum. Memang, semua tembakan yang diluncurkan Megan tak pernah meleset. Bahkan satu sentipun.

Tikus itu, lagi-lagi hanya memandang kami dan kembali melanjutkan aksi penghancurannya.
“Ini kelamaan!!” Megan sudah gusar. “Keluar, atau kubunuh kau!!!”

“Tidak ada gunanya…” tiba-tiba terdengar suara Sara dari Talkie Phoneku. “Di dalamnya memang tak ada orang…”

Aku memicingkan mataku ke tikus itu. Benar, di dalamnya tak ada ruang kendali.
“Mustahil ini…” Megan berbisik. “Ia bergerak sendiri, gitu?”

Aku menerka-nerka dalam hati. “Kau tau, tak ada Reserve Cyber yang bergerak tanpa Reserve Cybernya!”

“Oke, ini aneh” Sara bergumam sangsi. “Bagaimana kalau kita akhiri hidupnya?”
“Megan, habisi saja” aku memberi perintah pada Megan. Aku penasaran, bagaimana tikus logam tolol ini bisa bisanya tak mengubris kami.

Dengan sigap Trigun Bell melompat dan mengeluarkan meriam dari punggungnya. Dengan satu kali bidik, tikus tadi hancur berkeping-keping.

“Lihat, bahkan kita tak perlu memanggil pasukan Barat bukan? Batalkan saja!”
“Pfhh…merepotkan!” Sara mengutak atik alat komunikasinya. “Kalau begini caranya aku sih tak usah melakuakn Retransform…”

“AWAS!!!”
DHUARR……..
Ledakan. Hampir mengenai Megan.

“Apa itu tadi?!!” Megan terengah-engah. “Kacau!”
“Ada serangan!! Siaga tempur!” aku memberi perintah. “Mungkin saja ini si empu yang mempuyai robot kendali tadi!”

Aku menyapu pandangan dengan siaga, mencoba mencari-cari sosok Reserve Cyber. Aku menguatkan genggaman kontrolku.

“Di atas!!” Sara berteriak.
Ada sesuatu yang aneh di atas.

Sebuah bola logam jatuh dari langit. Jumlahnya puluhan, berdebam-debam jatuh ke tanah. Kami menghindar dan mengelit dari serangan meriam ni.

“Apa-apaan sih ini?!” Megan melihat bola meriam tadi. “Awas, mungkin ada seragan lagi…”

Tiba-tiba terdengar suara logam beradu talu, bising. Aku dan yang lain mengalihkan pandangan ke arah sumber suara tadi. Semangkin bising. Lalu tak hanya satu suara, menyusul suara-suara yang sama dari segala penjuru, berdenting-denting dan membuat telinga kesal.

Lalu aku tau apa yang terjdi.

Bola-bola meriam tadi berubah wujud, Retransform. Mula-mula kaki yang tajam bercakar, tangan, lalu muka yang berkumis alumunium panjang, badannya yang mengkilat, dan terakhir adalah ekornya yang panjang seperti cambuk, memukul-mukul tanah dan menerbangkan debu-debu kering.

Semua yang jatuh dari angkasa tadi telah berubah menjadi wujud tikus yang sempurna!
“Ini kan… yang tadi bukan?” Tanyaku sangsi.
“Saudaranya?” tanggap Megan. “Lihat, mereka persis sekali!”

“Dan sayangnya, kita terkepung mereka” Sara mundur beberapa langkah, sama sepertiku dan Megan, yang berakhir di satu titik. Punggung Reserve Cyber kami saling bertemu. Tikus-tikus tadi menyudutkan kami dengan moncong-moncongnya yang lancip dan mengendus-endus kami penuh ingin tau. “Meg Splash, sepertinya kita mempunyai kerjaan asik!” Sara mulai bersemangat.

“Ayo!! Ayo!! Aku tak sabar menembak!” Megan berjingkrak-jingkrak di dalam Trigun Bell. “Yippie… asik!”

“Hmh…” aku tersenyum melihat tingkah mereka semua. “Jangan mati ya!” ucapku, dan langsung melompat maju.

DHUARR…..
CRANG…….
DHUARR…

Dengan sigap aku dan teman-temanku menghancurkan tikus-tikus tadi hingga hancur berkeping-keping. Walau jumlahnya puluhan, mereka bisa ditaklukan dengan mudah…
“Hai, itu datang lagi!” Sara tiba-tiba berteriak nyaring. “Wadow! Banyak pula!!”

“Duh, makin repot aja…”
“Butuh bantuan?” tiba-tiba terdengar suara yang familiar di kupingku. Aku tau itu siapa.
Amber dan Aurora Spam datang. Sementara Amy dan Saxon Earls melayang di udara. “Evakuasi agak sedikit mengesalkan! Seorang nenek-nenek tua bangka tak mau dievakuasi dan meyuruh kami angkat kaki dari rumahnya…”

“Terserah!” kataku gusar duluan mendengar kisah Amber. “Lebih baik kau suruh Aurora Spam mencakar tikus ini dan menelannya bulat-bulat! Ia kan kucing!!”

“Oh iya, benar juga! Aury sayang, mari kita pesta tikus!!” Amber mulai maju mencakar tikus-tikus tadi. Sementara Saxon Earls mengepakkan sayapnya di udara sambil menembaki tikus tadi satu per satu. Pekerjaan yang menyebalkan, karena mereka datang terus tiada habisnya.

“Mereka tak terkira!!” Megan mulai merasa lelah. “Kita tidak bisa begini terus!”
“Jika begitu, aku yang akan mencari sumber dari tikus-tikus neraka ini, kau dan yang lain tetap bertahan di sini.” Aku mulai merubah Hazel Daze menjadi pesawat tempur kembali. “Pasukan bantuan datang setengah jam lagi, kok!!”

“Aku muak dengan semua ini!!” Sara memelas. “Hajar sampai tak bersisa!”
Aku mengangguk dan mulai melayang di udara. Aku terbang dengan kecepatan tinggi menuju salah satu titk hitam di angkasa. Makin lama makin jelas rupanya, dan aku tau itu apa.

Sebuah markas super kecil yang melayang di udara. Terdapat satu lapangan besar di sisinya, mungkin untuk mendaratkan Reserve Cyber.

“Kok?” aku memandangnya heran. Aku melihat meriam yang menembakan peluru bulat tadi, tak habis-habis. Dengan segera aku menembak meriam tadi hingga hancur berkeping-keping.

“Hei, yang di sana!! Keluarlah sekarang juga!!” teriakku dengan speaker luar.
Tak ada yang menjawab. Aku memanggilnya sekali lagi.

Hingga tiba-tiba Reserve Cyber keluar dari salah satu pintu di markas mungil itu. Ia terbang ke arahku. Senymnya yang mengembang terlihat samar dari kacanya yang hitam.

“Helo, Karen!” ia tersenyum mengembang. “Waw, sepertinya kau telah tumbuh besar!”
Ia tau namaku?

“Kau… siapa ya?” aku memandang wajahnya yang terlihat tidak jelas. Seorang wanita dengan rambut cokelat panjang ada di dalam Reserve Cyber itu.

“Masa’ kau melupakanku sih?” ia tertawa berderai dengan genit. “Ohya, kau memang lupa ingatan ya?”

“Selesaikan kekacauan ini, dan kita bisa berdamai” aku mulai mengancam. “Kau tidak suka diseret ke pengadilan kan?”

“Hahaha… kau mengusirku nih?” suaranya terdengar menyentil. “Militer dan Scar Path Cyber itu tak akan bisa berdamai nak…”

Apa? Scar Path Cyber?

“Kau… jangan-jangan dari…”
“Scar Path Cyber, tentu saja!” ia tertawa berderai lagi. “Tenang, hari ini aku sendiri kok!”
Tanganku Bergetar hebat. Benar… mereka datang kembali…

“Mau apa kau, menjadi api sulut perang lagi?” aku berkata ketus begitu mendengar kata-kata laknat itu. “Mau menyebarkan kepedihan lagi di sini? Mau membunuh orang-orang lagi? Mau menjadi iblis lagi?”

“Kau ini persis ibumu nak!” ia mendesah berat. “Bahkan saat di akhir hidupnya dia tetap mengatakan…”

DHUAR!!!
“Berhenti!!” aku berucap tajam sambil memedang kendali erat di tagan kiriku, dan mengangkat jempol tangan kananku dari tombol laser, gemetar. Kepalau mulai berdengung lagi.

“Kenapa? Tak suka berostalgia?” ia tersenyum licik. “Sayangnya aku tak boleh membunuhmu. Tuan Grand membutuhkanmu…”

“Reserve Cyber…anda terkepung…Resrve Cyber…anda terkepung…” tiba-tiba terdengar suara dari udara. Berpuluh-puluh pesawat datang, dan salah satu di antaranya ada kawan-kawan squard-ku. Bantuan pasukan Barat datang!

“Hih, mengganggu saja!!” ia memandang kumpulan tentara dengan sombong. Lalu tiba-tiba ia mengeluarkan meriam dari markas kecilnya, dan dengan segera menembaki pesawat-pesawat itu, meledak di tanah.

“Dasar mental penjajah!!” aku merubah Hazel Daze secara tiba-tiba, dan mencengkram Reserve Cyber (yang masih berwujud Pesawat Jet itu) dan membantingnya ke tanah. Namun dengan sigap ia merubah dirinya menjadi Reserve Cyber, dan aku tau itu bentuk apa.
Trenggiling. Dengan punggung bersisik besi yang mengkilat dan wajah kerucut yang aneh, dan lidah yang panjang.

“Ikh…” aku mendarat, berdebam di tanah. “…kau ini benar-benar niat menghancurkanku ya?”

“Kan sudah ku katakan, aku tak bisa membunuhmu!” ia mendesah. “Tuanku membutuhkanmu!”

DHUARR…
BLAR!! BLAR!! BLAR!!
Aku melihat apa yang terjadi di belakangku.
Si tikus-tikus kurang ajar sudah keluar lagi, dan menghantam semua tentara dan Squard-ku.
“Hei, bisa gak sih ini semua selesai?” aku memandangnya benci. “kau mau apa sih ke sini?”

Ia melancarkan serangan dengan lidahnya yang panjang. “Sejujurnya?” ia memandangku, dan berpikir sebentar. “Ia menyuruhku untuk mengukur kemampuan Hazel Daze sekarang. Katanya kau belum bisa memakai Gama Cybermu, gitu!”

“Jika begitu, tak usah melibatkan mereka! Mereka kan tak tau apa-apa!” aku berusaha menghalau serangannya. “Dan apakah yang kau maksud ‘tuanku membutuhkanmu itu?”

“Ah, itu rahasia!” ucapnya terkikik genit sambil terus melancarkan serangannya. “Yang pasti aku diperintahkan untuk bermain-main denganmu!”

Aku terus berkelit sambil melancarkan seranganku. Kenapa ini? Kenapa ia ingin sekali bertarung denganku? Apa sih salahku?

BLARR….

“Karen! Karen!” tiba-tiba sebuah pesawat menembaki si Trenggiling, dan menyapaku. “Serahkan saja padaku. 500 meter dari barat adalah teluk Yokashure, lebih baik kita pancing ke sana!!” perintahnya.

Ah! Aku tau suara ini!

“Mayor Rutherford!! Kau ikut turun?”
“Hee…mana mungkin aku membiarkan tikus-tikus gila ini menghancurkan kotaku…” ia memandangku dari atas. Terlihat wanita muda dengan rambut ikal sebahu dan tersenyum menyapaku. “Lagipula, jangan salah, aku sudah naik pangkat loh!!”

“Oh, jadi apa?” aku tersenyum.
DHUARR… PLAK!! PLAK!!

Si Trenggiling menyerang kami berdua. Segera kami menghindar.
“Oh! Ayo bergerak!!” ia menyuruhku pergi menjauhi tempat ini, menuju teluk Yokashure. Segera aku merubah Hazel Daze dan menuju pantai.

Dan benar saja! Wanita gila tadi mengikuti kami dengan kecepatan tinggi. Sepertinya ia mengincarku lagi. Segera kuhubungi Mayor Rutherford.

“Mayor, eh, maksudku…”
“Kolonel” jawabnya singkat.
“Oh, sekarang jadi Kolonel? Selamat ya!” aku memberi selamat atas kenaikan pangkatnya. “Sepertinya si Trenggiling sinting itu mengejar aku deh!”

“Dari mana kau tau?” ia bertanya heran.
“Karena dari tadi ia ingin bertarung denganku.” Aku berucap sangsi. “Lebih baik jika aku dijadikan umpan sementara pasukan lain menghancurkan ‘pit stop’nya!”

“Mengerti. Lebih baik kau memberitau Squard-mu!” perintahnya, dan memutuskan sambungan Talkie-phonenya dariku. Dengan Segera aku memberitau Megan. Ia mengerti dan ia berkata ia masih menumpas hama tikus-tikus itu. Aku memancing wanita Scar Path Cyber ini menuju teluk Yokashure. Lalu berhenti di tengah-tengahnya.

“Sini, kau mau menghajarku, bukan?” ucapku memancing. “Kalau mau, sini lakukan!”
“Jadi mau mulai serius nih?” ia tertawa lagi. “Bagaimana kalau…”

Lalu terjadi sesuatu. Cepat sekali.
Kolonel Rutherford meluncur cepat ke angkasa, lalu menukik tajam ke arah wanita Scar Path Cyber, dan di tengah lajunya me-Retransform Reserve Cybernya menjadi bentuk paus Orca dan menggigit sayap pesawat wanita tadi. Berputar di udara dan masuk ke dalam air dalam sekejap. Cipratan air langsung membasahi Hazel Daze. Membuatku ikut merasa basah.

Aku terpana, kaget.

Sementara tentara lain yang bersorak sorai gembira. Kolonel benar-benar membuat pertarungan berubah menjadi pertunjukan menakjubkan!

PYAR…….!!

Tiba-tiba pesawat Jet si wanita Reserve Cyber keluar dari air, bersamaan dengan loncatnya paus Orca sang Kolonel. Si Orca berusaha menangkap pesawat sang wanita, namun ia terbang tinggi sekali. Aku berusaha mengejarnya dan ikut terbang tinggi sekali. Namun tiba-tiba ia berhenti di udara.

Aku memandang pesawat jet itu.
Dan aku memandang wanita tadi, tajam.

Dan ia memandangku, angkuh. Dengan pelan-pelan, ia membuka mulutnya, tersenyum simpul.

“Sekarang kau aman…” ucapnya. “…namun jangan harap kau dan Keyda bisa lari dari kekuatan tuan Grand…”

“Maksudmu itu apa sih?” aku gusar sekali. “Kalau bicara…”

Namun ia pergi, cepat sekali, dan anehnya aku tak mampu mengejarnya lagi, terpana dengan ucapannya tadi.

Tuan Grand membutuhkanmu…

Kata-kata itu berdengung di pikiranku. Sampai semua Squard-ku datang menjemputku.
***

0 toughts:

Post a Comment