Pages

Wednesday, November 03, 2010

Unlimited Cyber Chapter 10


-->
10. Ice Cream
Markas Angkatan Pusat, 02.03 AM
[pergantian sudut pandang]

Kami semua berjalan lemas di koridor. Ini sudah jam 2 siang, dan kami belum memberi asupan makanan terhadap para cacing yang bersemayam pada lambung kami, berteriak-teriak marah.

“Kakiku juga pegal…” tambah Felix, seakan mendengar kata batinku. “Dan kita BELUM menemukan apaun yang berarti…”

Kami semua mengangguk. Sudah sekitar 6 jam kami mengobrak-abrik ruang Arsip, dan kami tidak menemukan apapun. Yang tercantum dari dokumen Perang Selatan hanyalah kapan bermulanya perang itu dan bagaimana keadaan Selatan setelah perang lima hari itu usai. Bahkan semua benda yang berhubungan dengan Scar Path Cyber menguap, seperti penghilangan jejak dengan sengaja. Mereka tak mau terendus lagi.
 
“Hari ini menunya apa ya?” ucap Felix menerka-nerka. “Aku lagi membayangkan dessert yang ada di Maple Mousse nih! Enak juga menyantap Es Krim Karamel Almond-nya! Lalu kita kasih sirup Mapple di atasnya, atau madu! Atau bisa juga sirup Butterscoth! Huwah!”

“Yaya, enak!” Saga mencibir. “Namun kenyataannya kita harus santap siang dengan menu Bu Aida. Kasihan sekali, ya!”

Hari ini Minggu, namun aku malas keluar dari markas. Sementara tentara lain mengambil jatah liburan dan makan siang dengan nikmat di restoran dan kafe, kita menghabiskan waktu siang di kantin ‘keramat’ bu Aida dan mendengar ocehan akhir pekannya. “Bisa-bisanya mereka makan senang-senang di luar sana sementara aku menyiapkan santapan mereka dengan susah payah! Dasar tak puya hati! Makananku juga tak kalah enak dari yang di luar itu! Mereka Cuma menang tempat!” begitulah petikannya.

“Aku ke mejaku.” Ucapku saat sampai di perempatan koridor. “Meletakkan buku ini”
“Ohya! Buku terasing itu!” ucap Saga dengan nada mengejek. “Ya sudah, sana! Aku ingin makan sekarang!”
“Kita bertemu di kantin ya!” lambai Bruno, meninggalkanku dan Felix. Aku berjalan cepat, disusul Felix dengan santai.

Hingga aku berpapasan dengan Karen, Megan dan Amber.

“Dari mana?” Tanya Felix heran. “Bolos, ya!”
“Enak saja!” sanggah Megan. “Kita cuma keluar sebentar, apa urusanmu!”
“Dih, kan hanya tanya!” tambah Felix, ikut tersulut. “Lagipula kalian kan datang dari arah gerbang!”
“Barusan ada urusan…” ucap Karen akhirnya, meredakan api. “Baru kita mau keluar sekarang! Mau makan di Maple Mousse.”

“Curang!” hadrik Felix. “Kita hanya makan di tempat bu Aida! Ya kan Key?”

Aku hanya menanggukkan kepalaku sedikit.

“Hmm… begitu rupanya…” Amber mengangguk-angguk pelan. “Baiklah, kami pergi dulu, ya! Sampai jumpa!”
“Daaahh…” Felix melambai-lambai pada mereka. Aku memandang mereka bertiga dari kejauhan. Dan, menatap tangan Karen. Sesuatu yang sampai sekarang tidak bisa kuraih.

“Sudah, kau jangan melamun begitu…” Felix tiba-tiba mengejutkanku. “Melihat siapa? Jangan-jangan…”
Aku mengangkat tanganku, menyuruhnya diam dan tidak meledekku lagi.

“Aku tau kok!” ia meringis. “Masa’ iya sih sahabat yang sudah berteman denganmu selama tiga belas tahun tak mengerti perasaanmu!”

Aku tak mengubrisnya dan berjalan perlahan, disusul Felix. Suara sepatu bot berdetak nyaring, berbenturan dengan lantai batu. Suasana sepi, mengingat ini adalah hari Minggu.

“Kau itu hebat, tau!” tiba-tiba ia mengeluarkan suara. “Memberikan seluruh dirimu dan menahan sakit terus menerus selama sepuluh tahun. Tak ada yang bisa bertahan dari mimpi buruk yang…”

Aku menghela nafas berat, memotong pembicaraannya. Ia melihatku, na’as.

“Maafkan aku” ia berbisik. “Aku hanya tidak tega melihatmu begini terus. Bahkan ekspresimu yang tak pernah berubah… jujur. Aku ingin sekali melihatmu tersenyum. Bahkan aku sudah lupa kapan aku melihatmu tersenyum”

“Aku sudah lupa caranya” ucapku.

Suasana jadi tidak enak. Aku berjalan monoton dan kaku, sementara Felix mengikutiku pelan dan canggung. Aku tak ingin membahas ini lagi, dan aku hanya ingin semua hari berlalu begitu saja. Begitu saja tanpa arti.

***
[pergantian sudut pandang]

“Galaw ghataku, ghia nyarinya dhi perpustakaan nahiona agha…” Amy memberi usulan dengan mulut penuh Fussili Daging asap dan jamur.

Kami semua saling padang tak mengerti.

“Duh! Aku bilang kita cari di Perpustakaan Nasional saja, gimana?” ucapnya. “Kau tau, di sana banyak sekali buku dan tulisan yang belum kita selidiki!”

“Ide bagus!” celetuk Megan, mengiris daging kalkun. “Tak ada salahnya mencoba pergi ke sana!”

Aku berpikir-pikir lagi sambil menggulung Fettuchini ekstra keju-ku. Mungkin saja memang banyak buku di Perpustakaan Nasional yang belum kita cek.

“Kapan ke sana, jika begitu?” tanya Sara. “Kita tak bisa membolos lagi kan? Walau waktu sengang…”

“Entah kenapa, kita bisa ketemu lagi!” seru sebuah suara, di dekat kami. Aku mengenal suara itu, yang memelas meminta bela kasihan kepada kami tempo hari.

“Steve! Dari mana kau?” seru Amy.

“Ini Kafe ayahku!” ucapnya, tersenyum mengembang. “Dan aku ikut bekerja di sini pada hari libur!”
“Hooo…” kami semua mengangguk-angguk kompak.

“Jadi ini punyamu…”
“Ayahku” potongnya cepat. “Ini mutlak milik Ayahku, pemilik Kafe dengan Dessert terlezat di kota Archiel!” ucapnya. Ada nada kebanggaan tersirat dari ucapannya.

“Oke, jika memang terlezat, aku ingin Es Krim Maple-Almond dengan saus Butterscoth!” Megan menyingkirkan piring dengan tulang-tulang Kalkun dari hadapannya. “Aku rasa makanku telah selesai!”

“Dan aku ingin Es Krim dengan potongan coklat dan Wafer! Dan banyak saus coklat!” tambah Amy berbinar. “Chocolate is the best!”

“Bagaimana ya? Aku ingin Double Caramel Ice Cream dengan Hazelnut.” Sara berpikir sebentar. “Manis pasti!”

“Oh! Oh! Bagaimana dengan Sari buah? Aku ingin yang Strawberry!” potong Amber berjingkrak di kursinya. “Dan kau, Karen?”

“Es Krim susu polos. Mungkin dengan potongan kacang-kacangan dan sirup Maple” aku berpikir sebentar. “Atau aku mau pancake ya?”

“Oke, semua pesanan kalian sudah kutulis! Tinggal menunggu es krim terlezat di dunia datang!” Steve mencoret-coret tulisan dalam kertas kecil yang ia bawa. “Selamat menikmati…..” ia mengangkat topi pelayannya sedikit dan menyingkir perlahan.

“Anak baik!” ucap Sara sambil memandangnya menghilang. “Kecil-kecil begitu, ia sudah menjadi Maid CafĂ© yang manis dan handal!”

“Namanya juga bekerja di sini!” aku memutar kembali garpuku, mengangkat Fettuchini-ku yang terakhir. “Kita juga, bekerja di Militer pada umur segini! Ingat apa kata orang-orang pusat saat kita datang? Anak kecil seperti ini jadi tentara? Mengikat tali sepatu saja tidak bisa!

“Iri…” simpul Megan meledek. “Mereka baru bisa menjadi Sersan pada umur 20 tahunan… sedangkan kita bisa mendapatkannya pada umur 17 tahun… keren, kan?”

“Kalau kita bukan orang Selatan, lain masalahnya!” Sara mengunyah Letus penuh Thousand Island. “Saat perang usai, Markas Selatan kosong dan hanya kitalah yang mendaftar jadi tentara… mangkanya pangkat kita langsung dinaikkan! Toh cuma kita yang ada saat itu, kan?”

“Ah, mengenang masa lalu, nih! Saat kita masih berlatih di bawah pimpinan Brigjen Slyder… oh! Saat itu masih jadi Mayor!” Amy mulai memutar masa lalu. “Saat kita pertama kali bertemu…umur kita belum lebih dari 12 tahun!”

***
; Prunefors, Selatan, 1907, 09.00 AM

“Aku khawatir…” Mayor menghempaskan surat lamaran kami pada mejanya. “…kalian tidak akan kuat jika berada di militer…”

Aku menelan ludah, memandang Megan, Felix dan Keyda. Mereka semua juga diliputi tegang yang luar biasa. Kami nekat berada di sini, dan semangat kami menggebu-gebu sejak kemarin. Namun, mengapa seakan semua kobaran itu menguap di sini?

“Kami siap kok dengan resikonya! Tidak perduli kami masih sekecil ini, kami akan menjadi tentara!” ucap Felix dengan nada yakin. “Dan kami adalah Reserve Cyber, jadi itu bisa menjadi pertimbangan bukan?”

Mayor Slyder terdiam beberapa saat. Ia memandang kami, satu per satu. Tatapannya serius, sepert memeriksa setia inci dari tubuh kami. Setelah ia memandang kami ssekian lama, akhirnya ia mendesah, berat.

“Kalau kaian masuk ke sini…” ia menatap lantai. “…kemungkinan kalau kalian akan bertemu perang lagi amat besar….”

“Kami tidak perduli!” jawab Megan, tiba-tiba memotong pembicaraan. “Keinginan kami hanya ingin jadi tentara. Titik!”

“Kalian sudah tau resikonya?” tanya Mayor. “Nyawa kalian bisa dicabut kapan saja, dan hidup kalian tak akan tenang. Lagipula kalian masih kecil, lakukannlah sesuatu yang sesuai dengan umur kalian. Dan…”

“Apa kami salah menjadi tentara?!” tiba-tiba Felix berteriak, nyaring. “Kami tak akan sengsara! Kami tau apa yang kami lakukan! Dan kami tau…”

“Bahkan, jika kalian membunuh ribuan orang dan menghancurkan seisi kota?!” potong Mayor, melebihi lengkingan Felix. “Jangan kira kalian bisa membayar sakitnya hati kalian dengan menjadi tentara!!”

Kami terdiam, semua. Aku memandang lantai kayu yang ada di bawahku, bergetar-getar hebat. Ucapan itu, entah bagaimana, mengiris-iris hatiku pelan-pelan. Aku seakan baru menyadarinya. Benar, kami akan membunuh juga jika ada di sini.

“Alasan kami di sini…” tiba-tiba suara Keyda memecah keheningan. “…adalah untuk menghindari pertumpahan darah lagi. Cukup kami dan hanya kami sajalah yang boleh merasa tersiksa. Kami tak akan lari”

Seakan menjawab pertanyaan kami, kami semua tertegun. Aku memandang Keyda, yang menatap lurus ke arah Mayor. Tatapannya tajam, tenang, menggetarkan, namun penuh dengan rasa yakin dan semangat. Alasan ia tepat. Kami disini untu menghindari orang lain menumpahkan darah. Dan hanya kamilah yang boleh tersiksa.

“Karena itulah, kalian ingin masuk?” Mayor membalas tatapan Keyda. “Kalian ingin merasakan perang lagi?”
“Impian kami semua terkubur di reruntuhan kota kami…” Keyda menjawab. “…dan kami hanya ingin mempertahankan harapan yang lain, agar tidak runtuh seperti kami.”

Aku kembali mengangkat kepalaku. Merasakan adanya harapan kembali. Aku berucap perlahan, berbisik, “Apakah kami diterima?”

***
“Ini dia pesanan kalian….” Ucap Steve menyadarkanku. “dan ini bill-nya. Kalian bisa membayarnya di kasir nanti.”

“Anak baik…” Amy mengacak-acak rambut Steve gemas. “Aku akan lebih sering mampir ke sini pada akhir pekan! Pelayanannya bagus, sih!”

“Heheheh…” Steve menyeringai lebar. “Terima kasih juga, kakak!”

Lalu ia pergi dengan berjingkat-jingkat riang, bersiul-siul dan bersenang hati karena mendapat pelanggan baru.
Aku cepat-cepat menghabiskan Es Krim-ku dan bergegas untuk membayar santapan kami.

“Ia sangat manis ya!” aku berucap pada pelayan kasir sambil memandang Steve yang masuk ke dalam dapur. “Teman-temannya yang lain juga tak kalah menggemaskan!”

“Ia memang kebanggaanku” balas sang pelayan kasir. “Walau susah diatur, tapi ia anak yang berbakti pada orang tuanya!”

“Eh? Anda…” aku menunjuk sang pelayan kasir. Ia tersenyum manis.

“Aku ibunya” ucapnya, seakan menjawab pertanyaan batinku. “Aku sudah dengar tentang kalian darinya. Terima kasih atas bantuan kalian dalam mengusir penjajah itu!”

“Ahaha… bukan apa-apa…” aku menunduk sedikit, mengambil uang logam yang terjatuh. “Itu adalah tugas kami”

Aku memberikan sejumlah uang untuk membayar makan siang kami. Ia menerima dengan senang hati, mencatat pada buku catatannya.

“Asal kalian dari mana?” ia bertanya padaku sembari mencatat pembayaran kami pada buku catatannya.
“Aku dari Servidia.” Jawabku. “Kota di Selatan”
Ia berhenti mencatat secara tiba-tiba. Lalu memandangku, tampak terkejut sekali.
“Kau… dari Selatan?” bisiknya denga nada takjub.

“Ya…” aku tersenyum. Aku sudah terbiasa dengan tanggapan orang-orang di sekitarku saat aku mengatakan bahwa aku berasal dari Servidia. Mereka berteriak dengan nada tak percaya atau mencelos begitu mendengar asalku. Lalu mereka mulai bertanya akan hal-hal yang terjadi pada Perang Selatan, dan mengumumkan pada orang lain di sekitarnya.

Ia memandangku seakan aku petinggi Militer yang mendapat gelar pahlawan. Seperti tidak percaya.

“Jangan-jangan kau adalah salah satu korban selamat yang dibicarakan itu…”

“Kami” jawabku memberi koreksi. “Kami berlima.” Aku menunjuk teman-teman yang ada di belakangku.
“Luar biasa…” ia mangut-mangut. “Kalian masih diberi kesempatan hidup. Aku dengar semua musnah, bahkan tak ada satu tanamanpun yang hidup!”

“Begitukah?” ucapku. “Yah, memang begitulah keadannya, kami selamat.”

“Kau seperti tampak tidak senang…” ia membuka kembali laci yang ada di bawahnya, mengambil beberapa lembar uang, dan memberikannya padaku sebagai kembalian.

“Bagaimana ya?” aku mencoba melukiskan perasaanku. “Yah, dibilang senang sih tidak, pasti. Karena…”

“Kau mau ngobrol sampai berapa lama, sih?” teriak Megan dari kejauhan. “Kita masih banyak tugas!”

“Ah!” aku terpekik sadar. “Iya! Sebentar! Terima kasih nyonya!” aku mengambil uang dengan terburu-buru dan segera pergi dari tempatku berada, ditatap dengan iba Ibu Steve, mungkin.

***
; Markas Militer Aggkatan Pusat, 02.50 PM
[pergantian sudut pandang]

“Bagaimana kalau kita periksa arsip yang lebih besar saja. Misalkan…perpustakaan nasional?”
Aku berhenti makan. Yang lain memandang Rei dengan sangsi.

“Iya ya! Mengapa tidak terpikir dari tadi sih?!” Felix menepuk kepalanya. “Tolol! Tolol! Tolol!”

“Aku yakin di sana kita bisa menemukan hal menarik!” Rei memasukan telor dadar pada mulutnya.
“Siapa tau ada orang selatan yang selamat dan menulis novel… atau ada salah satu tentara membuat buku sejarah…”

“Ngaco” hadrik Saga memotong perkataan Bruno. “Yang selamat kan cuma kita!!”

“Tak ada salahnya mencoba, kok!” Felix mendukung ide Rei. “Lagipula jika kita terpaku hanya pada arsip militer, tidak ada gunanya! Toh, semua angkatan militer Selatan kan mati semua!”

“Key, menurutmu?” tanya Rei.

Aku terdiam. Jikalau memang ada buku yang tersembunyi di antara ribuan buku itu, kami bisa selangkah lebih maju dalam penyelidikan kami.

“Coba saja” akhirnya aku menjawab pertanyaan Rei.
“Nah! Dengan begini jelas! Jikalau…”

“Keyda Mathewhanks?” tiba-tiba ada seorang tentara yang memanggilku, menghentikan pembicaraan Felix (yang membuatnya cemberut) dan melongok pada kantin. “Ada yang mencari”

Aku mendelik heran. Teman-temanku saling memandang satu sama lain. Sejauh ini kita telah menyelesaikan tugas kami, lalu mengapa dipangggil?

“Siapa yang nyari?” tanya Felix penasaran.

“Anak kecil. Entahlah siapa yang pasti kau harus ke sana.”

Anak Kecil?

Aku beranjak dari kursiku, diiiringi oleh tatapan heran teman-temanku. Siapa anak kecil yang mencariku?
Aku bergegas ke gerbang. Di depan sana terlihat dua sosok tubuh mungil yang menungguku, satu laki-laki dan yang lainnya perempuan.

“Ya?” tanyaku kepada mereka, berlutut untuk menyamai tinggi badan mereka.

“Kak Key? Aku ini Basil, dan ini temanku Cynhia. Kami berdua tadinya mencari kak Karen… tapi ternyata yang ada cuma temannya…” ia memberikan sebuah kotak makan siang. “Ini itu dari ibuku. Katanya sih, buat kak Karen… tapi adanya kakak, jadinya buat kakak saja deh…”

Aku menatap kotak makan siang itu. “Kalian dari mana?”

“St.Sinai… yang kemarin ada kejadian heboh itu… Kami ke sini dengan kereta…” giliran gadis kecil yang menjawab. “Kakak juga di sana kemarin?”

Aku menggelengkan kepalaku. Lalu menerima kotak makan siang yang lumayan besar itu. Dingin.

“Terima kasih” aku beranjak. “Salam kalian akan aku sampaikan kepada Karen. Terima kasih kalian juga.”
“Ngomong-ngomong, kakak itu siapanya Kak Karen ya?” tanya gadis yang bernama Cynthia itu, menatapku penih selidik. “Pacarnya ya?”

Aku mencelos mendengarnya.

“Errr… bukan” aku menjawab sangsi. “Aku ini sahabatnya”

“Oooh…” Mereka berdua mengangguk-angguk. “Sayang sekali! Padahal kalian berdua cukup cocok!” komentar Cynthia. “Kakak lamar dong, kalau begitu!”

Aku hanya terdiam, memandang mereka berdua.

“Ah! Kita belum pergi ke rumah Sania, Steve dan Bu Rossy!! Nanti Es Krimnya keburu meleleh nih!” Basil mengingatkan Cynthia akan tugas mereka yang belum selesai. “Terima kasih banyak ya kakak….”

Aku mengelus kepala mereka berdua, dan mereka berlari menjauh dariku hingga menghilang dari pandangan.
Seberapa cocoknya aku dengan Karen? Aku ini hanyalah seorang bangsat.

***
;Somewhere Else, 17.30 AM
[pergantian sudut pandang]

Ada seorang laki-laki di sana, memandang seseorang yang ada di depannya, tegang. Suara angin yang menderu-deru terdengar jelas, masuk melewati celah lubang udara dengan susah payah.

“Hanya itu yang dikatakan Martha.” Ia memberikan laporannya lancar.

Laki-laki yang satunya lagi menatap lubang angin. Ia membetulkan posisi duduknya, menghela nafas panjang.
“Martha memang jarang menggunakan otaknya…” ia beringsut. “Dan sekarang kita selangkah lebih mundur… tindakan selanjutnya, aku minta kalian berhati-hati dalam bertindak. Aku ingin semua berjalan pelan, seperti angin…”

“Siap. Apa yang akan tuan titahkan?” sang Ajudan menegakkan tubuhnya.

Pria yang dipanggil ‘tuan’ itu berpikir lagi. “Aku tidak akan menyentuh dulu Karen, Keyda, dan Caroline. Mereka kunci yang penting…” bisiknya. “Namun aku bisa mengendalikan mereka dari sini…”

“Maksud tuan?” tanya pria yang menjadi ajudannya. “Kita akan diam saja?”

Sang tuan tidak menjawab pertanyaan si ajudan. Ia tetap saja berbisik-bisik sendirian. “Belum lagi kunci yang menghilang…pembuka segel kematian. Kita belum menemukannya…”

Ajudan tidak mengerti apa yang dipikirkan sang tuan. Sang tuan hanya berbisik-bisik pelan sambil megetukkan sepatunya pada tanah. Ia hanya menunggu keputusannya. Bukankah itu tugas seorang ajudan?

“Target sekarang,” ia akhirnya berkata. “…adalah Reborn dari Gama Cyber…”
Ajudannya kaget bukan kepalang.

“Tapi, kita belum menemukan tanda-tanda akan kembalinya ingatan Karen kan? Ia masih tidak bisa…”
“Ingatannya sudah datang menghampirinya” sang tuan membantah. “Namun ia belum membukakan pintu untuk itu…”

“Lalu apa yang akan anda lakukan?” tanya sang ajudan. “Ia masih dalam kondisi labil untuk mendapatkan ingatan Gama Cyber!”

“Kita akan buka paksa pintunya…” sang tuan tersenyum simpul. “Aku tak peduli ia masih labil atau tidak, yang pasti ia tak boleh kabur lagi…”

***

Hyaaaaa..... sudah lama tidak posting saudara-saudara!!
Akhirnya setelah berjuang memperbaiki laptop dan kompoter yang meninggal, akhirnya sang aruthor dapat kembali memposting!! sang komputer dihidupkan kembali!
Terima kasih yang sudah mau mampir!!
Mwd :)

0 toughts:

Post a Comment